✔ Kompetensi Pedagogik - Macam - Macam Teori Berguru ( Update )
Kompetensi Pedagogik - |
Gurune.net - Dalam proses mengajar belajar, penguasaan seorang guru dan cara menyampaikannya merupakan syarat yang sangat essensial.
Penguasaan guru terhadap materi pelajaran dan pengelolaan kelas sangatlah penting, namun demikian belum cukup untuk menghasilkan pembelajaran yang optimal.
Selain menguasai materi matematika guru sebaiknya menguasai perihal teori-teori belajar, semoga sanggup mengarahkan peserta didik berpartisipasi secara intelektual dalam belajar, sehingga berguru menjadi bermakna bagi siswa.
Hal ini sesuai dengan isi lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 16 Tahun 2007 perihal Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru yang menyebutkan bahwa penguasaan teori berguru dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik menjadi salah satu unsur kompetensi pedagogik yang harus dimiliki guru.
Jika seorang guru akan menerapkan suatu teori berguru dalam proses berguru mengajar, maka guru tersebut harus memahami seluk beluk teori berguru tersebut sehingga selanjutnya sanggup merancang dengan baik bentuk proses berguru mengajar yang akan dilaksanakan.
Psikologi berguru atau disebut dengan Teori Belajar yaitu teori yang mempelajari perkembangan intelektual (mental)
siswa. Di dalamnya terdiri atas dua hal, yaitu: (1) uraian perihal apa yang terjadi dan diharapkan terjadi padaintelektual anak, (2) uraian perihal kegiatan intelektual anak mengenai hal-hal yang bisa dipikirkan pada usia tertentu. Terdapat dua aliran dalam psikologi belajar, yakni aliran psikologi tingkah laris (behavioristic)dan aliran psikologi kognitif.
1. Teori berguru behavioristik
Psikologi berguru atau disebut juga dengan teori berguru yaitu teori yang mempelajari perkembangan intelektual (mental) individu (Suherman, dkk: 2001: 30).
Didalamnya terdapat dua hal, yaitu 1) uraian perihal apa yang terjadi dan diharapkan terjadi pada intelektual; dan 2) uraian perihal kegiatan intelektual anak mengenai hal-hal yang bisa dipikirkan pada usia tertentu.
Dikenal dua teori belajar, yaitu teori berguru tingkah laris (behaviorism) dan teori berguru kognitif. Teori berguru tingkah laris dinyatakan oleh Orton (1987: 38) sebagai suatu keyakinan bahwa pembelajaran terjadi melalui korelasi stimulus (rangsangan) dan respon (response).
Berikut dipaparkan empat teori berguru tingkah laris yaitu teori berguru dari Thorndike, Skinner, Pavlov, dan Bandura.
a. Teori Belajar dari Thorndike
Edward Lee Thorndike (1874 – 1949) mengemukakan beberapa aturan berguru yang dikenal dengan sebutan Law of effect.
Belajar akan lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus segera diikuti dengan rasa bahagia atau kepuasan. Rasa bahagia atau kepuasan ini bisa timbul sebagai akhir anak mendapatkan kebanggaan atau ganjaran lainnya.
Stimulus ini termasuk reinforcement. Setelah anak berhasil melaksanakan tugasnya dengan tepat dan cepat, pada diri anak muncul kepuasan diri sebagai akhir sukses yang diraihnya.
Anak memperoleh suatu kesuksesan yang pada gilirannya akan mengantarkan dirinya ke jenjang kesuksesan berikutnya.
Teori berguru stimulus-respon yang dikemukakan oleh Thorndike ini disebut juga teori berguru koneksionisme.Pada hakikatnya berguru merupakan proses pembentukan korelasi antara stimulus dan respon.
Terdapat beberapa dalil atau aturan yang terkait dengan teori koneksionisme yaitu aturan kesiapan
(law of readiness), aturan latihan (law of exercise) dan aturan akhir (law of effect).
1. Hukum kesiapan (law of readiness)
menjelaskan kesiapan seorang anak dalam melaksanakan suatu kegiatan. Seorang anak yang mempunyai kecenderungan untuk bertindak atau melaksanakan kegiatan tertentu kemudian melaksanakan kegiatan tersebut, maka tindakannya akan melahirkan kepuasan bagi dirinya. Tindakan-tindakan lain yang beliau lakukan tidak menimbulkan kepuasan bagi dirinya.
menjelaskan kesiapan seorang anak dalam melaksanakan suatu kegiatan. Seorang anak yang mempunyai kecenderungan untuk bertindak atau melaksanakan kegiatan tertentu kemudian melaksanakan kegiatan tersebut, maka tindakannya akan melahirkan kepuasan bagi dirinya. Tindakan-tindakan lain yang beliau lakukan tidak menimbulkan kepuasan bagi dirinya.
2. Hukum latihan (law of exercise)
menyatakan bahwa kalau korelasi stimulus- respon sering terjadi, karenanya korelasi akan semakin kuat, sedangkan makin jarang korelasi stimulus-respon dipergunakan, maka makin lemah korelasi yang terjadi.
Hukum latihan intinya memakai dasar bahwa stimulus dan respon akan mempunyai korelasi satu sama lain secara kuat, kalau proses pengulangan sering terjadi, makin banyak kegiatan ini dilakukan maka korelasi yang terjadi akan bersifat otomatis. Seorang anak yang dihadapkan pada suatu problem yang sering ditemuinya akan segera melaksanakan jawaban secara cepat sesuai dengan pengalamannya pada waktu sebelumnya.
menyatakan bahwa kalau korelasi stimulus- respon sering terjadi, karenanya korelasi akan semakin kuat, sedangkan makin jarang korelasi stimulus-respon dipergunakan, maka makin lemah korelasi yang terjadi.
Hukum latihan intinya memakai dasar bahwa stimulus dan respon akan mempunyai korelasi satu sama lain secara kuat, kalau proses pengulangan sering terjadi, makin banyak kegiatan ini dilakukan maka korelasi yang terjadi akan bersifat otomatis. Seorang anak yang dihadapkan pada suatu problem yang sering ditemuinya akan segera melaksanakan jawaban secara cepat sesuai dengan pengalamannya pada waktu sebelumnya.
3. Hukum akhir (law of effect)
menjelaskan bahwa apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat.
Hal ini berarti bahwa kepuasan yang terlahir dari adanya ganjaran dari guru akan memperlihatkan kepuasan bagi anak, dan anak cenderung untuk berusaha melaksanakan atau meningkatkan apa yang telah dicapainya itu.Selanjutnya Thorndike mengemukakan aturan suplemen sebagai berikut:
menjelaskan bahwa apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat.
Hal ini berarti bahwa kepuasan yang terlahir dari adanya ganjaran dari guru akan memperlihatkan kepuasan bagi anak, dan anak cenderung untuk berusaha melaksanakan atau meningkatkan apa yang telah dicapainya itu.Selanjutnya Thorndike mengemukakan aturan suplemen sebagai berikut:
- Hukum reaksi bervariasi (law of multiple response) Individu diawali dengan proses trial and error yang memperlihatkan bermacam- macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan perkara yang dihadapi.
- Hukum sikap (law of attitude) Perilaku berguru seseorang tidak hanya ditentukan oleh korelasi stimulus dan respon saja, tetapi juga ditentukan oleh keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi, sosial, maupun psikomotornya.
- Hukum kegiatan berat sebelah (law of prepotency element) Individu dalam proses berguru memperlihatkan respons pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi (respon selektif).
- Hukum respon melalui analogi (law of response by analogy) Individu sanggup melaksanakan respons pada situasi yang belum pernah dialami alasannya individu sesungguhnya sanggup menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan situasi usang yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Semakin banyak unsur yang sama, maka transfer akan semakin mudah.
- Hukum perpindahan asosiasi (law of associative shifting) Proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan bertahap unsur lama.Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyampaian teorinya, Thorndike mengemukakan revisi aturan berguru antara lain:
1. Hukum latihan ditinggalkan alasannya ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat korelasi stimulus-respons, sebaliknya tanpa pengulangan belum tentu akan memperlemah korelasi stimulus-respons.
2. Hukum akhir (law of effect) direvisi, alasannya dalam penelitiannya lebih lanjut ditemukan bahwa hanya sebagian saja dari aturan ini yang benar. Jika diberikan hadiah (reward) maka akan meningkatkan korelasi stimulus-respons, sedangkan kalau diberikan eksekusi (punishment) tidak berakibat apa-apa.
3. Syarat utama terjadinya korelasi stimulus-respons bukan kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara stimulus dan respons.
4. Akibat suatu perbuatan sanggup menular baik pada bidang lain maupun pada individu lain. Implikasi dari aliran pengaitan ini dalam kegiatan berguru mengajar sehari-hari yaitu bahwa:
- Untuk menjelaskan suatu konsep, guru sebaiknya mengambil contoh yang sekiranya sudah sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Alat peraga dari alam sekitar akan lebih dihayati.
- Metode pemberian tugas, metode latihan (drill dan practice) akan lebih cocok untuk penguatan dan hafalan. Dengan penerapan metode tersebut siswa akan lebih banyak mendapatkan stimulus sehingga respon yang diberikan pun akan lebih banyak.
- Hierarkis penyusunan komposisi materi dalam kurikulum merupakan hal yang penting.Materi disusun dari materi yang mudah, sedang, dan sukar sesuai dengan tingkat kelas, dan tingkat sekolah. Penguasaan materi yang lebih gampang sebagai akhir untuk sanggup menguasai materi yang lebih sukar. Dengan kata lain topik (konsep) prasyarat harus dikuasai dulu semoga sanggup memahami topik berikutnya.
b. Teori Belajar Pavlov
Pavlov populer dengan teori berguru klasik.
Pavlov mengemukakan konsep adaptasi (conditioning). Terkait dengan kegiatan berguru mengajar, semoga siswa berguru dengan baik maka harus dibiasakan.
Misalnya, semoga siswa mengerjakan soal pekerjaan rumah dengan baik, biasakanlah dengan memeriksanya, menjelaskannya, atau memberi nilai terhadap hasil pekerjaannya.
c. Teori Belajar Skinner
Burhus Frederic Skinner menyatakan bahwa ganjaran atau penguatan mempunyai peranan yang amat penting dalam proses belajar.
Terdapat perbedaan antara ganjaran dan penguatan. Ganjaran merupakan respon yang sifatnya menggembirakan dan merupakan tingkah laris yang sifatnya subjektif, sedangkan penguatan merupakan sesuatu yang mengakibatkan meningkatnya kemungkinan suatu respon dan lebih mengarah pada hal-hal yang sanggup diamati dan diukur.
Skinner menyatakan bahwa penguatan terdiri atas penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan sanggup dianggap sebagai stimulus positif, kalau penguatan tersebut seiring dengan meningkatnya sikap anak dalam melaksanakan pengulangan perilakunya itu.
Dalam hal ini penguatan yang diberikan pada anak memperkuat tindakan anak, sehingga anak semakin sering melakukannya.
Contoh penguatan positif diantaranya yaitu kebanggaan yang diberikan pada anak.
Sikap guru yang bergembira pada ketika anak menjawab pertanyaan, merupakan penguatan positif pula.
Untuk mengubah tingkah laris anak dari negatif menjadi positif, guru perlu mengetahui psikologi yang sanggup dipakai untuk memperkirakan (memprediksi) dan mengendalikan tingkah laris anak.
Guru di dalam kelas mempunyai kiprah untuk mengarahkan anak dalam kegiatan belajar, alasannya pada ketika tersebut, kontrol berada pada guru, yang berwenang memperlihatkan instruksi ataupun larangan pada anak didiknya.
Penguatan akan berbekas pada diri anak. Mereka yang mendapat kebanggaan sesudah berhasil menuntaskan kiprah atau menjawab pertanyaan biasanya akan berusaha memenuhi kiprah berikutnya dengan penuh semangat.
Penguatan yang berbentuk hadiah atau kebanggaan akan memotivasi anak untuk rajin berguru dan mempertahankan prestasi yang diraihnya.
Penguatan menyerupai ini sebaiknya segera diberikan dan tak perlu ditunda-tunda. Karena penguatan akan berbekas pada anak, sedangkan hasil penguatan diharapkan positif, maka penguatan yang diberikan tentu harus diarahkan pada respon anak yang benar.
Janganlah memperlihatkan penguatan atas respon anak kalau respon tersebut sebetulnya tidak diperlukan.Skinner menambahkan bahwa kalau respon siswa baik (menunjang efektivitas pencapaian tujuan) harus segera diberi penguatan positif semoga respon tersebut lebih baik lagi, atau minimal perbuatan baik itu dipertahankan.
Sebaliknya kalau respon siswa kurang atau tidak diharapkan sehingga tidak menunjang tujuan pengajaran, harus segera diberi penguatan negatif semoga respon tersebut tidak diulangi lagi dan menjelma respon yang sifatnya positif.
Penguatan negatif ini bisa berupa teguran, peringatan, atau sangsi (hukuman edukatif).
d. Teori berguru Bandura
Bandura mengemukakan bahwa siswa berguru melalui meniru. Pengertian memalsukan di sini bukan berarti menyontek, tetapi memalsukan hal-hal yang dilakukan oleh orang lain, terutama guru.
Jika goresan pena guru baik, guru berbicara sopan santun dengan memakai bahasa yang baik dan benar, tingkah laris yang terpuji, menandakan dengan terang dan sistematik, maka siswa akan menirunya.
Jika contoh-contoh yang dilihatnya kurang baik ia pun menirunya. Dengan demikian guru harus menjadi insan model yang profesional.
Bandura memandang tingkah laris insan bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus, melainkan juga akhir reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan bagan kognitif insan itu sendiri.
Teori berguru sosial dari Bandura ini merupakan adonan antara teori berguru behavioristik dengan penguatan dan psikologi kognitif, dengan prinsip modifikasi perilaku.
Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory) dari Bandura didasarkan pada tiga konsep, yaitu:
1. Reciprocal determinism Pendekatan yang menjelaskan tingkah laris insan dalam bentuk interaksi timbal-balik yang terus menerus antara kognitif, tingkah laku, dan lingkungan. Orang menentukan/mempengaruhi tingkahlakunya dengan mengontrol lingkungan, tetapi orang itu juga dikontrol oleh kekuatan lingkungan itu.
2. Beyond reinforcement Bandura memandang teori Skinner dan Hull terlalu bergantung pada reinforcement. Jika setiap unit respon sosial yang kompleks harus dipilah-pilah untuk direforse satu persatu, bisa jadi orang malah tidak berguru apapun. Menurutnya, reinforcement penting dalam menentukan apakah suatu tingkah laris akan terus terjadi atau tidak, tetapi itu bukan satu-satunya pembentuk tingkah laku. Orang sanggup berguru melaksanakan sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya. Belajar melalui observasi tanpa ada reinforcement yang terlibat, berarti tingkah laris ditentukan oleh antisipasi konsekuensi.
3. Self-regulation/cognition Teori berguru tradisional sering terhalang oleh ketidaksenangan atau ketidakmampuan mereka untuk menjelaskan proses kognitif. Konsep bandura menempatkan insan sebagai pribadi yang sanggup mengatur diri sendiri (self regulation), menghipnotis tingkah laris dengan cara mengatur lingkungan, membuat dukungan kognitif, dan mengadakan konsekuensi bagi bagi tingkah lakunya sendiri.
Prinsip dasar berguru sosial (social learning) adalah:
1. Sebagian besar dari yang dipelajari insan terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh sikap (modeling).
2. Dalam hal ini, seorang siswa mengubah sikap sendiri melalui penyaksian cara orang/sekelompok orang yang mereaksi/merespon sebuah stimulus tertentu.
3. Siswa sanggup mempelajari respons-respons gres dengan cara pengamatan terhadap sikap contoh dari orang lain, misalnya: guru/orang tuanya. Pendekatan teori berguru sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral siswa ditekankan pada perlunya adaptasi merespons (conditioning) dan peniruan (imitation).
Teori berguru sosial mempunyai banyak implikasi untuk penggunaan di dalam kelas, yaitu:
1. Siswa sering berguru hanya dengan mengamati orang lain, yaitu guru.
2. Menggambarkan konsekuensi sikap yang sanggup secara efektif meningkatkan sikap yang sesuai dan menurunkan yang tidak pantas. Hal ini sanggup melibatkan berdiskusi dengan pelajar perihal imbalan dan konsekuensi dari aneka macam perilaku.
3. Modeling menyediakan alternatif untuk membentuk sikap gres untuk mengajar. Untuk mempromosikan model yang efektif, seorang guru harus memastikan bahwa empat kondisi esensial ada, yaitu perhatian, retensi, motor reproduksi, dan motivasi
4. Guru dan orangtua harus menjadi model sikap yang sesuai dan berhati-hati semoga mereka tidak memalsukan sikap yang tidak pantas,
5. Siswa harus percaya bahwa mereka bisa menuntaskan tugas-tugas sekolah. Sehingga sangat penting untuk berbagi rasa efektivitas diri untuk siswa. Guru sanggup meningkatkan rasa efektivitas diri siswa dengan cara menumbuhkan rasa percaya diri siswa, memperlihatkan pengalaman orang lain menjadi sukses, danmenceritakan pengalaman sukses guru atau siswa itu sendiri.
6. Guru harus membantu siswa menetapkan impian yang realistis untuk prestasi akademiknya. Guru harus memastikan bahwa sasaran prestasi siswa tidak lebih rendah dari potensi siswa yang bersangkutan.
7. Teknik pengaturan diri menyediakan metode yang efektif untuk meningkatkan sikap siswa.
2. Teori berguru Vygotsky
Menurut pandangan konstruktivisme perihal belajar, individu akan memakai pengetahuan siap dan pengalaman pribadiyang telah dimilikinya untuk membantu memahami perkara atau materi baru.
King (1994) menyatakan bahwa individu sanggup membuat inferensi perihal informasi gres itu, menarik perspektif dari beberapa aspek pada pengetahuan yang dimilikinya, mengelaborasi materi gres dengan menguraikannya secara rinci, dan menggeneralisasi korelasi antara materi gres dengan informasi yang telah ada dalam memori siswa.
Aktivitas mental menyerupai inilah yang membantu siswa mereformulasi informasi gres atau merestrukturisasi pengetahuan yang telah dimilikinya menjadi suatu struktur kognitif yang lebih luas/lengkap sehingga mencapai pemahaman mendalam.
Lev Semenovich Vygotsky merupakan tokoh penting dalam konstruktivisme sosial. Vygotsky menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial.
Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky, yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan positif (yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan perkara secara mandiri) dan tingkat perkembangan potensial (yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan perkara di bawah bimbingan orang remaja atau melalui kerjasama dengan sobat sejawat yang lebih mampu).
Yang dimaksud dengan orang remaja yaitu guru atau orang tua.Scaffolding merupakan pemberian sejumlah dukungan kepada siswa selama tahap- tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi dukungan dan memperlihatkan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar sesudah ia sanggup melakukannya. Bantuan tersebut sanggup berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan perkara ke dalam langkah-langkah pemecahan, memperlihatkan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu berguru mandiri.
Tiga Tahap Pengkonstruksian Pengetahuan Berdasarkan uraian di atas, Vygotsky menekankan bahwa pengkonstruksian pengetahuan seorang individu dicapai melalui interaksi sosial.
Proses pengkonstruksian pengetahuan menyerupai yang dikemukakan Vygotsky paling tidak sanggup diilustrasikan dalam beberapa tahap menyerupai pada Gambar 2. Tahap perkembangan positif (Tahap I) terjadi pada ketika siswa berusaha sendiri menyudahi konflik kognitif yang dialaminya.
Perkembangan positif ini sanggup mencapai tahap maksimum apabila kepada mereka dihadapkan perkara menantang sehingga terjadinya konflik kognitif di dalam dirinya yang memicu dan memacu mereka untuk memakai segenap pengetahuan dan pengalamannya dalam menuntaskan perkara tersebut.
Perkembangan potensial (Tahap II) terjadi pada ketika siswa berinteraksi dengan pihak lain dalam komunitas kelas yang mempunyai kemampuan lebih, menyerupai sobat dan guru, atau dengan komunitas lain menyerupai orang tua. Perkembangan potensial ini akan mencapai tahap maksimal kalau pembelajaran dilakukan secara kooperatif (cooperative learning) dalam kelompok kecil dua hingga empat orang dan guru melaksanakan intervensi secara proporsional dan terarah. Dalam hal ini guru dituntut terampil menerapkan teknik scaffolding yaitu membantu kelompok secara tidak eksklusif memakai teknik bertanya dan teknik probing yang efektif, atau memperlihatkan petunjuk (hint) seperlunya.
Proses pengkonstruksian pengetahuan ini terjadi rekonstruksi mental yaitu berubahnya struktur kognitif dari bagan yang telah ada menjadi bagan gres yang lebih lengkap. Proses internalisasi (Tahap III) berdasarkan Vygotsky merupakan kegiatan mental tingkat tinggi kalau terjadi alasannya adanya interaksi sosial.
Jika dikaitkan dengan teori perkembanga mental yang dikemukakan Piaget, internalisasi merupakan proses penyeimbangan struktur-struktur internal dengan masukan-masukan eksternal. Proses kognitif menyerupai ini, pada tingkat perkembangan yang lebih tinggi diakibatkan oleh rekonseptualisasi terhadap perkara atau informasi sedemikian sehingga terjadi keseimbangan (keharmonisan) dari apa yang sebelumnya dipandang sebagai kontradiksi atau konflik. Pada level ini, diharapkan intervensi yang dilakukan secara sengaja oleh guru atau yang lainnya sehingga proses asimilasi dan fasilitas berlangsung dan mengakibatkan terjadinya keseimbangan (equilibrium).
Aplikasi pemikiran Vygotsky untuk mempelajari matematika menumbuhkan pemahaman matematika dari koneksi pemikiran dengan bahasa matematika yang gres dalam
mengkreasipengetahuan.Mengkonstruksi pengetahuan merupakan fokus yang krusial dari pembelajaran Matematika. Vygotsky percaya bahwa siswa berguru untuk memakai bahasa gres dengan internalisasi pengetahuan dari kata yang mereka katakan, pengembangan budaya siswa dari pengetahuan kata dua proses fungsi.
Pertama, pada tingkat sosial dan kedua, pada tingkat individual dimana pengetahuan kata digeneralisasikan sebagai pemahaman. Siswa menggunakandan menginternalisasikan kata-kata gres yang ketika itu diperoleh dari orang lain.
Mereka selalu menemukan diri mereka sendiri dalam Zona Pengembangan Proksimal (ZPD) sebagai pelajaran baru. ZPD merupakan kawasan pengetahuan seseorang di antara pengetahuan ketika itu dengan pengetahuan potensialnya.
3. Teori Belajar Van Hiele
Dalam pembelajaran geometri terdapat teori berguru yang dikemukakan oleh van Hiele (1954) yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam geometri. van Hiele yaitu seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitiandalam pembelajaran geometri.
Penelitian yang dilakukan van Hiele melahirkan beberapa kesimpulan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri. van Hielemenyatakan bahwa terdapat 5 tahap pemahaman geometri yaitu: pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi, dan akurasi.
a) Tahap Visualisasi (Pengenalan)
Pada tingkat ini, siswa memandang sesuatu berdiri geometri sebagai suatu keseluruhan (holistic). Pada tingkat ini siswa belum memperhatikan komponen- komponen dari masing-masing bangun. Dengan demikian, meskipun pada tingkat ini siswa sudah mengenal nama sesuatu bangun, siswa belum mengamati ciri-ciri dari berdiri itu. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa tahu suatu berdiri berjulukan persegipanjang, tetapi ia belum menyadari ciri-ciri berdiri persegipanjang tersebut.
b) Tahap Analisis (Deskriptif)
Pada tingkat ini siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri berdasarkan ciri- ciri dari masing-masing bangun. Dengan kata lain, pada tingkat ini siswa sudah terbiasa menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu berdiri dan mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa menyampaikan bahwa suatu berdiri merupakan persegipanjang alasannya berdiri itu “mempunyai empat sisi, sisi-sisi yang berhadapan sejajar, dan semua sudutnya siku-siku.”
c) Tahap Deduksi Formal (Pengurutan atau Relasional)
Pada tingkat ini, siswa sudah bisa memahami korelasi antar ciri yang satu dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa menyampaikan bahwa kalau pada suatu segiempat sisi-sisi yang berhadapan sejajar, maka sisi-sisi yang berhadapan itu sama panjang. Di samping itu pada tingkat ini siswa sudah memahami pelunya definisi untuk tiap-tiap bangun. Pada tahap ini, siswa juga sudah bisa memahami korelasi antara berdiri yang satu dengan berdiri yang lain. Misalnya pada tingkat ini siswa sudah bisa memahami bahwa setiap persegi yaitu juga persegipanjang, alasannya persegi juga mempunyai ciri-ciri persegipanjang.
d) Tahap Deduksi
Pada tingkat ini (1) siswa sudah sanggup mengambil kesimpulan secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus, (2) siswa bisa memahami pengertian-pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan terorema-teorema dalam geometri, dan (3) siswa sudah mulai bisa menyusun bukti-bukti secara formal. Ini berarti bahwa pada tingkat ini siswa sudah memahami proses berpikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan bisa memakai proses berpikir tersebut.
Sebagai contoh untuk memperlihatkan bahwa jumlah sudut-sudut dalam jajargenjang yaitu 360° secara deduktif dibuktikan dengan memakai prinsip kesejajaran. Pembuktian secara induktif yaitu dengan memotong-motong sudut-sudut benda jajargenjang, kemudian sesudah itu ditunjukkan semua sudutnya membentuk sudut satu putaran penuh atau 360° belum tuntas dan belum tentu tepat. Seperti diketahui bahwa pengukuran itu intinya mencari nilai yang paling akrab dengan ukuran yang sebenarnya.
Jadi, mungkin saja sanggup keliru dalam mengukur sudut- sudut jajargenjang tersebut. Untuk itu pembuktian secara deduktif merupakan cara yang tepat dalam pembuktian pada matematika.
Anak pada tahap ini telah mengerti pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang didefinisikan, aksioma atau problem, dan teorema. Anak pada tahap ini belum memahami kegunaan dari suatu sistem deduktif.
Oleh alasannya itu, anak pada tahap ini belum sanggup menjawab pertanyaan: “mengapa sesuatu itu perlu disajikan dalam bentuk teorema atau dalil?”
e) Tahap Akurasi (tingkat metamatematis atau keakuratan)
Pada tingkat ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip- prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Sudah memahami mengapa sesuatu itu dijadikan postulat atau dalil. Dalam matematika kita tahu bahwa betapa pentingnya suatu sistem deduktif. Tahap keakuratan merupakan tahap tertinggi dalam memahami geometri.
Pada tahap ini memerlukan tahap berpikir yang kompleks dan rumit, siswa bisa melaksanakan daypikir secara formal perihal sistem-sistem matematika (termasuk sistem-sistem geometri), tanpa membutuhkan model-model yang konkret sebagai acuan.
Pada tingkat ini, siswa memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih dari satu geometri. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa menyadari bahwa kalau salah satu aksioma pada suatu sistem geometri diubah, maka seluruh geometri tersebut juga akan berubah. Sehingga, pada tahap ini siswa sudah memahami adanya geometri-geometri yang lain di samping geometri Euclides.
Selain mengemukakan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif dalam memahami geometri, van Hiele juga mengemukakan bahwa terdapat tiga unsur yang utama pembelajaran geometri yaitu waktu, materi pembelajaran dan metode penyusun yang apabila dikelola secara terpadu sanggup mengakibatkan meningkatnya kemampuan berpikir anak kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap yang sebelumnya.
Menurut van Hiele, semua anak mempelajari geometri dengan melalui tahap-tahap tersebut, dengan urutan yang sama, dan tidak dimungkinkan adanya tingkat yang diloncati. Akan tetapi, kapan seseorang siswa mulai memasuki suatu tingkat yang gres tidak selalu sama antara siswa yang satu dengan siswa yang lain.
Proses perkembangan dari tahap yang satu ke tahap berikutnya terutama tidak ditentukan oleh umur atau kematangan biologis, tetapi lebih bergantung pada pengajaran dari guru dan proses berguru yang dilalui siswa. Bila dua orang yang mempunyai tahap berpikir berlainan satu sama lain, kemudian saling bertukar pikiran maka kedua orang tersebut tidak akan mengerti.
Menurut van Hiele seorang anak yang berada pada tingkat yang lebih rendah mustahil sanggup mengerti atau memahami materi yang berada pada tingkat yang lebih tinggi dari anak tersebut. Kalaupun anak itu dipaksakan untuk memahaminya, anak itu gres bisa memahami melalui hafalan saja bukan melalui pengertian.
Adapun fase-fase pembelajaran yang memperlihatkan tujuan berguru siswa dan kiprah guru dalam pembelajaran dalam mencapai tujuan itu. Fase-fase pembelajaran tersebut adalah: 1) fase informasi, 2) fase orientasi, 3) fase eksplisitasi, 4) fase orientasi bebas, dan 5) fase integrasi. Berdasar hasil penelitian di beberapa negara, tingkatan dari van Hiele mempunyai kegunaan untuk menggambarkan perkembangan konsep geometrik siswa dari SD hingga Perguruan Tinggi.
Van de Walle (1990:270) membuat deskripsi kegiatan yang lebih sederhana dibandingkan dengan deskripsi yang dibentuk Crowley. Menurut Van de Walle kegiatan pembelajaran untuk masing-masing tiga tahap pertama adalah:
a. Aktivitas tahap 0 (visualisasi)
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
1. Melibatkan penggunaan model fisik yang sanggup dipakai untuk memanipulasi.
2. Melibatkan aneka macam contoh bangun-bangun yang bervariasi dan berbeda sehingga sifat yang tidak relevan sanggup diabaikan.
3. Melibatkan kegiatan memilih, mengidentifikasi dan mendeskripsikan aneka macam bangun, dan
4. Menyediakan kesempatan untuk membentuk, membuat, menggambar, menyusun atau menggunting bangun.
b. Aktivitas tahap 1 (analisis)
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
1. Menggunakan model-model pada tahap 0, terutama model-model yang sanggup dipakai untuk mendeskripsikan aneka macam sifat bangun.
2. Mulai lebih menfokuskan pada sifat-sifat dari pada sekedar identifikasi
3. Mengklasifikasi berdiri berdasar sifat-sifatnya berdasarkan nama berdiri tersebut.
4. Menggunakan pemecahan perkara yang melibatkan sifat-sifat bangun.
c. Aktivitas tahap 2 (deduksi informal)
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:
1. Melanjutkan pengklasifikasian model dengan fokus pada pendefinisian sifat, membuat daftar sifat dan mendiskusikan sifat yang perlu dan cukup untuk kondisi suatu berdiri atau konsep.
2. Memuat penggunaan bahasa yang bersifat deduktif informal, contohnya semua, suatu, dan kalau – maka, serta mengamati validitas konversi suatu relasi.
3. Menggunakan model dan gambar sebagai sarana untuk berpikir dan mulai mencari generalisasi atau kontra.
4. Teori Belajar Ausubel-David Ausubel yaitu spesialis psikologi pendidikan. Ausubel memberi pementingan pada proses berguru yang bermakna.
Teori berguru Ausubel populer dengan berguru bermakna dan pentingnya pengulangan sebelum berguru dimulai. Menurut Ausubel berguru sanggup dikalifikasikan ke dalam dua dimensi.
Dimensi pertama bekerjasama dengan cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagimana siswa sanggup mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada, yang mencakup fakta, konsep, dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa.
Teori berguru Ausubel populer dengan berguru bermakna dan pentingnya pengulangan sebelum berguru dimulai. Menurut Ausubel berguru sanggup dikalifikasikan ke dalam dua dimensi.
Dimensi pertama bekerjasama dengan cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagimana siswa sanggup mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada, yang mencakup fakta, konsep, dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa.
Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi sanggup dikomunikasikan pada siswa baik dalam bentuk berguru penerimaan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final, maupun dengan bentuk berguru inovasi yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan.
Pada tingkat kedua, siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada pengetahuan yang telah dimilikinya, dalam hal ini terjadi berguru bermakna.
Akan tetapi, siswa itu sanggup juga hanya mencoba-coba menghafalkan informasi gres itu, tanpa menghubungkannya pada konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya, dalam hal ini terjadi berguru hafalan. Menurut Ausubel & Robinson (dalam Dahar: 1989) kaitan antar kedua dimensi tersebut sanggup digambarkan sebagai berikut.
3. Bentuk-bentuk berguru (menurut Ausubel & Robinson, 1969)
Belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi gres pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang.
Dalam berguru bermakna informasi gres diasimilasikan pada subsume-subsume yang telah ada. Ausubel membedakan antara berguru mendapatkan dengan berguru menemukan. Pada berguru mendapatkan siswa hanya menerima, jadi tinggal menghapalkannya, sedangkan pada berguru menemukan konsep ditemukan oleh siswa, jadi siswa tidak mendapatkan pelajaran begitu saja.
Selain itu terdapat perbedaan antara berguru menghafal dengan berguru bermakna, pada berguru menghapal siswa menghafalkan materi yang sudah diperolehnya, sedangkan pada berguru bermakna materi yang telah diperoleh itu dikembangkannya dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih dimengerti.
Menurut Ausubel (dalam Dahar, 1988:116) prasyarat-prasyarat berguru bermakna ada dua sebagai berikut. (1) Materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial; kebermaknaan materi tergantung dua faktor, yakni materi harus mempunyai kebermaknaan logis dan gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif siswa. (2) Siswa yang akan berguru harus bertujuan untuk melaksanakan berguru bermakna. Dengan demikian mempunyai kesiapan dan niat untuk berguru bermakna.
Prinsip-prinsip dalam teori berguru Ausubel
Menurut Ausubel faktor yang paling penting yang menghipnotis berguru yaitu apa yang sudah diketahui siswa. Makara semoga terjadi berguru bermakna, konsep gres atau informasi gres harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Dalam menerapkan teori Ausubel dalam mengajar, terdapat konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang harus diperhatikan. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
- Pengaturan Awal (advance organizer). Pengaturan Awal mengarahkan para siswa ke materi yang akan dipelajari dan mengingatkan siswa pada materi sebelumnya yang sanggup digunakanm siswa dalam membantu menanamkan pengetahuan baru.
- Diferensiasi Progresif. Pengembangan konsep berlangsung paling baik kalau unsur-unsur yang paling umum,paling inklusif dari suatu konsep diperkenalkan terklebih dahulu, dan kemudian barudiberikan hal-hal yang lebih mendetail dan lebih khusus dari konsep itu. Menurut Sulaiman (1988: 203) diferensiasi progresif yaitu cara berbagi pokok bahasan melalui penguraian materi secara heirarkhis sehingga setiap cuilan sanggup dipelajari secara terpisah dari satu kesatuan yang besar.
- Belajar Superordinat. Selama informasi diterima dan diasosiasikan dengan konsep dalam struktur kognitif (subsumsi), konsep itu tumbuh dan mengalami diferensiasi. Belajar superordinat sanggup terjadi apabila konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya dikenal sebagai unsur-unsur dari suatu konsep yang lebih luas, lebih inklusif.
- Penyesuaian Integratif (Rekonsiliasi Integratif). Mengajar bukan hanya urutan berdasarkan diferensiasi progresif yang diperhatikan, melainkan juga harus diperlihatkan bagaimana konsep-konsepbaru dihubungkan pada konsep- konsep superordinat. Guru harus memperlihatkan secara eksplisit bagaimana arti-arti gres dibandingkan dan dipertentangkan dengan arti-arti sebelumnya.yang lebih sempit, dan bagimana konsep-konsep yang tingkatannya lebih tinggi kini mengambil arti baru.
Penerapan Teori Ausubel dalam Pembelajaran
Untuk menerapkan teori Ausubel dalam pembelajaran, Dadang Sulaiman (1988) menyarankan semoga memakai dua fase, yakni fase perencanaan dan fase pelaksanaan. Fase perencanaan terdiri dari menetapkan tujuan pembelajaran, mendiagnosis latar belakang pengetahuan siswa, membuat struktur materi dan memformulasikan pengaturan awal. Sedangkan fase pelaksanaan dalam pemebelajaran terdiri dari pengaturan awal, diferensiasi progresif, dan rekonsiliasi integratif.
5. Teori Belajar Bruner
Jerome Bruner yaitu spesialis psikologi perkembangan dari Universitas Haevard, Amerika Serikat, yang telah mempelopori aliran psikologi berguru kognitif yang memperlihatkan dorrongan semoga pendidikan memperlihatkan perhatian pada pentingnya pengembangan berpikir.
Bruner banyak memperlihatkan pandangan mengenai perkembangan kognitif manusia, bagaimana insan berguru atau memperoleh pengetahuan, menyimpan pengetahuan dan mentransformasikan pengetahuan.
Dalam mempelajari manusia, ia menganggap insan sebagai pemroses, pemikir, dan pencipta informasi. Bruner dalam teorinya menyatakan bahwa berguru matematika akan lebih berhasil kalau proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang termuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, disamping korelasi yang terkait antar konsep-konsep dan struktur-struktur.
Dengan mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam materi yang sedang dibicarakan, anak akan memahami materi yang harus dikuasainya itu. Ini memperlihatkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih gampang dipahami dan diingat anak.
Menurut Bruner (dalam Hudoyo, 1990:48) berguru matematika yaitu berguru mengenai konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat
di dalam materi yang dipelajari, serta mencari korelasi antara konsep-konsep dan struktur- struktur matematika itu. Siswa harus sanggup menemukan keteraturan dengan cara mengotak-atik bahan-bahan yang bekerjasama dengan keteraturan intuitif yang sudah dimiliki siswa. Dengan demikian siswa dalam belajar, haruslah terlibat aktif mentalnya semoga sanggup mengenal konsep dan struktur dalam materi yang sedang dibicarakan. Dengan demikian materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih gampang dipahami oleh anak.
Dalam bukunya (Bruner, 1960) mengemukakan empat tema pendidikan, yakni: (1) Pentingnya arti struktur pengetahuan. Kurikulum hendaknya mementingkan struktur pengetahuan, alasannya dalam struktur pengetahuan kita menolong para siswa untuk melihat. (2) Kesiapan (readiness) untuk belajar. Menurut Bruner (1966:29), kesiapan terdiri atas penguasaan keterampilan-keterampilan yang lebih sederhana yang memungkinkan seorang untuk mncapai keterampilan-keterampilan yang lebih tinggi. (3) Nilai intuisi dalam proses pendidikan. Intuisi yaitu teknik-teknik intelektual untuk hingga pada formulasi-formulasi tentatif tanpa melalui langkah-langkah analitis untuk mengetahui apakah formulasi-formulasi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang sahih atau tidak, serta (4) motivasi atau keinginan untuk berguru beserta cara-cara yang dimiliki para guru untuk merangsang motivasi itu.
Belajar sebagai Proses Kognitif
Menurut Bruner dalam berguru melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan. Ketiga proses tersebut yaitu (1) memperoleh informasi baru, (2) transformasi informasi, dan (3) menguji relevan informasi dan ketepatan pengetahuan. Dalam berguru informasi gres merupakan penghalusan dari informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang. Dalam transformasi pengetahuan seseorang memperlakukan pengetahuan semoga cocok atau sesuai dengan kiprah baru. Jadi, transformasi menyangkut cara kita memperlakukan pengetahuan, apakah dengan cara ekstrapolasi atau dengan mengubah menjadi bentuk lain.
Kita menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan dengan minilai apakah cara kita memperlakukan pengetahuan itu cocok dengan kiprah yang ada.
Bruner menyebut pandangannya perihal berguru atau pertumbuhan kognitif sebagai konseptualisme instrumental . Pandangan ini berpusat pada dua prinsip, yaitu: (1) pengetahuan seseorang perihal alam didasarkan pada model-model perihal kenyataan yang dibangunnya dan (2) model-model semacam itu mula-mula diadopsi dari kebudayaan seseorang, kemudian model-model itu disesuaikan pada kegunaan bagi orang yang bersangkutan.
Pendewasaan pertumbuhan intelektual atau pertumbuhan kognitif seseorang berdasarkan Bruner yaitu sebagai berikut.
- Pertumbuhan intelektual ditunjukkan oleh bertambahnya ketidak-tergantungan respons dari sifat stimulus. Dalam hal ini ada kalanya seorang anak mempertahankan suatu respons dalam lingkungan stimulus yang berubah-ubah, atau berguru mengubah responnya dalam lingkungan stimulus yang tidak berubah. Melalui pertumbuhan, seseorang memperoleh kebebasan dari pengontrolan stimulus melalui proses-proses mediator yang mengubah stimulus sebelum respons.
- Pertumbuhan intelektual tergantung pada bagaimana seseorang menginternalisasi peristiwa-peristiwa menjdi suatu sistem simpanan (storage system) yang sesuai dengan lingkungan. Sistem inilah yang memungkinkan peningkatan kemampuan anak untuk bertindak di atas informasi yang diperoleh pada suatu kesempatan. Ia melaksanakan ini dengan membuat ramalan-ramalan, dan ektrapolasi-ekstrapolasi dari model alam yang disimpannya.
- Pertumbuhan intelektual menyangkut peningkatan kemampuan seseorang untuk berkata pada dirinya sendiri atau pada orang lain, dengan pertolongan kata-kata dan simbol-simbol, apa yang telah dilakukan atau apa yang dilakukan.
- Bruner (1966) mengemukakan bahwa terdapat tiga sistem keterampilan untuk menyatakan kemampuan-kemampuan secara sempurna. Ketiga sistem
keterampilan itu yaitu yang disebut tiga cara penyajian (modes of presents), yaitu:
- Cara penyajian enaktif.Cara penyajian enaktif yaitu melalui tindakan, anak terlibat secara eksklusif dalam memanipulasi (mengotak-atik )objek, sehingga bersifat manipulatif. Anak berguru sesuatu pengetahuan secara aktif, dengan memakai benda- benda konkret atau situasi nyata. Dengan cara ini anak mengetahui suatu aspek dari kenyataan tanpa memakai pikiran atau kata-kata. Cara ini terdiri atas penyajian kejadian-kejadian yang lampau melalui respon-respon motorik. Dalam cara penyajian ini anak secara eksklusif terlihat.
- Cara penyajian ikonik.Cara penyajian ikonik didasarkan pada pikiran internal dimana pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik, yang dilakukan anak bekerjasama dengan mental, yang merupakan citra dari objek-objek yang dimanipulasinya. Anak tidak eksklusif memanipulasi objek menyerupai yang dilakukan siswa dalam tahap enaktif. Bahasa menjadi lebih penting sebagai suatu media berpikir.
- Cara penyajian simbolik.Cara penyajian simbolik didasarkan pada sistem berpikir abstrak, arbitrer, dan lebih fleksibel. Dalam tahap ini anak memanipulasi simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikat dengan objek-objek pada tahap sebelumnya. Siswa pada tahap ini sudah bisa memakai notasi tanpa ketergantungan terhadap objek lain.
- Dari hasil penelitiannya Bruner mengungkapkan dalil-dalil terkait penguasaan konsep-kosep oleh anak. Dalil-dalil tersebut yaitu dalil-dalil penyusunan (construction theorem), dalil notasi (notation theorem), dalil kekontrasan dan dalil variasi (contrast and variation theorem), dalil pengaitan (connectivity theorem).
Menerapkan Metode Penemuan dalam Pembelajaran
Salah satu dari model-model instruksional kognitif yang paling kuat yaitu model berguru inovasi Jerome Bruner (1966). Selanjutnya Bruner memperlihatkan kode bagaimana kiprah guru dalam menerapkan berguru inovasi pada siswa, sebagai berikut.
- Merencanakan materi pelajaran yang diharapkan sebagai dasar bagi para siswa untuk memecahkan masalah. Guru hendaknya memakai sesuatu yang sudah dikenal oleh siswa, kemudian guru mengemukakan sesuatu yang berlawanan, sehingga terjadi konflik dengan pengalaman siswa. Akibatnya timbullah masalah, yang akan merangsang siswa untuk menyidik perkara itu, menyusun hipotesis-hipotesis, dan mencoba menemukan konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang mendasari perkara tersebut.
- Urutan pengajaran hendaknya memakai cara penyajian enaktif, ikonik, kemudian simbolik alasannya perkembangan intelektual siswa diasumsikan mengikuti urutan enaktif, ikonik, kemudian simbolik.
- Pada ketika siswa memcahkan masalah, guru hendaknya berperan sebagai pembimbing atau tutor. Guru hendaknya tidak mengungkap terlebih dahulu prinsip atau aturan yang akan dipelajari, guru hendaknya memperlihatkan saran- saran kalau diperlukan. Sebagai tutor, guru sebaiknya memperlihatkan umpan balik pada ketika yang tepat untuk perbaikan siswa.
- Dalam menilai hasil berguru bentuk tes sanggup berupa tes objektif atau tes esay, alasannya tujuan-tujuan pembelajaran tidak dirumuskan secara mendetail. Tujuan berguru inovasi yaitu mempelajari generalisasi-generalisasi dengan menemukan sendiri generalisasi-generalisasi itu.
Belum ada Komentar untuk "✔ Kompetensi Pedagogik - Macam - Macam Teori Berguru ( Update )"
Posting Komentar