✔ Transformasi Kurikulum


Transformasi kurikulum merupakan tantangan pertama Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Republik Indonesia. Untuk mentransformasi kurikulum, tiga dilema harus dijawab, yaitu konsep kurikulum alternatif, orkestrasi sistem, dan keberanian mengeksekusi kebijakan.

Persoalan pendidikan di Indonesia sangatlah kompleks. Kompleksitas terjadi alasannya yakni skala dan jumlahnya yang sangat masif. Berdasarkan data dalam Neraca Pendidikan Daerah 2018, kita mempunyai sekitar 2,7 juta guru, 52 Juta siswa, dan 473 ribu satuan pendidikan.

Cakupan layanannya secara geografis tersebar luas di seluruh kepulauan Nusantara, dari Sabang hingga Merauke. Dari Miangas hingga Pulau Rote, dan di luar negeri bagi beberapa warga negara Indonesia (WNI) yang tetap menjadi bab dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Skala dan kompleksitas itu menjadi tantangan transformasi kurikulum.

Kurikulum alternatif
Amanat Presiden Joko Widodo pada Nadiem untuk mentransformasi kurikulum mengandaikan adanya kajian sistematis terhadap keberadaan Kurikulum 2013, dan menggagas kurikulum alternatif untuk memperbaikinya.

Kurikulum 2013, meskipun sudah direvisi dan diperbaiki, rupanya tetap menjadi sumber kritik bagi akademisi dan praktisi, terutama bintang film utama di kelas, yaitu para guru. Ini terjadi alasannya yakni beberapa dilema mendasar yang ada di dalam Kurikulum 2013 tidak dibereskan. Persis, persoalannya ada di dalam konstruksi kurikulum itu sendiri.

Kalau kita urutkan dari konsep awal keseluruhan proses pembentukan alur berpikir yang membentuk Kurikulum 2013, kita bisa membayangkan langkah-langkah ini. Tujuan pendidikan diturunkan dalam profil lulusan, profil lulusan diturunkan dalam standar kompetensi lulusan (SKL). SKL diturunkan dalam kompetensi inti (sikap, spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan). Kompetensi inti (KI) diturunkan dalam kompetensi dasar (KD). KD diturunkan dalam standar isi (isi materi, silabus, dan buku pelajaran). Standar isi diturunkan dalam standar proses (rencana pelaksanaan pembelajaran), dan standar penilaian (sumatif dan formatif).

Struktur menyerupai ini sangatlah bertele-tele dan rumit. Faktanya, guru tak pernah memperhatikan logika konsep ini, tetapi pribadi melakukan apa yang ada di dalam buku pelajaran. Bagi guru, pada dasarnya ialah apa yang harus diajarkan di kelas. Kebiasaan mengikuti Buku Guru dalam Kurikulum 2013 juga memandulkan dan mematikan kreativitas guru sehingga implementasi Kurikulum 2013 yang kontekstual belum terjadi.

Beban manajemen guru juga menjadi dilema tersendiri dalam implementasi Kurikulum 2013. Dalam praksisnya, setiap aktivitas berguru harus disertai dengan pembuatan dokumen manajemen yang detail, baik dalam pembuatan dokumen Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, silabus, planning pelaksanaan pembelajaran (RPP), dan format penilaian. Ini semua harus dilakukan setiap tahun dan harus dicetak.

Bila kita analisis bagaimana deksripsi KD dibuat, kita akan banyak menemukan deskripsi yang rumit, panjang, berbelit-belit, dan sukar dimengerti oleh guru. Rumit, bertele-tele, disertai dengan tagihan manajemen berjibun, dan menghabiskan waktu guru ialah ciri khas Kurikulum 2013.

Persoalan lain ialah wacana penilaian dan evaluasi. Dalam penilaian, perilaku sosial dan spiritual, pengetahuan, serta keterampilan dinilai secara terpisah. Seolah-olah ketiga hal itu bila dijumlahkan secara kuantitatif dan dibagi tiga akan melahirkan konstruksi penilaian huruf yang utuh.

Lebih lagi, penilaian itu pun berbeda dengan penilaian perilaku di luar pembelajaran. Bahkan, secara sistem Kurikulum 2013, lebih banyak menekankan adanya banyak sekali macam ujian yang menghabiskan waktu guru dan siswa. Mulai penilaian harian, ujian tengah semester, ujian simpulan semester, dan ujian simpulan tahun. Lalu, ujian simpulan berstandar nasional, dan ujian nasional. Kurikulum 2013 identik dengan rezim ujian.

Ujian tentunya bertujuan untuk menilai keberhasilan pembelajaran penerima didik, baik itu untuk perbaikan, pendampingan, menaikkan maupun meluluskan. Juga menumbuhkan gairah berguru otentik yang menumbuhkan perilaku siap sedia berguru di mana pun dan kapan pun. Sayangnya, secara mudah tujuan ini sulit tercapai melalui kebijakan kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang salah diterjemahkan sebagai nilai minimal di dalam rapor.

Cara penentuan KKM yang berbelit-belit, tidak pernah menjadi pertimbangan dalam menciptakan dasar kebijakan KKM. Bahkan, sekolah cenderung mengatakan KKM tinggi untuk memperlihatkan prestasi sekolah. Akhirnya, yang terjadi ialah siswa malah menjadi terdemotivasi. Apalagi jikalau tahu bahwa di banyak sekolah, toh semalas apa pun siswa akan mendapat nilai minimal KKM di dalam rapornya. Semakin hancurlah proses pembelajaran di kelas-kelas kita.

Keluhan lain wacana Kurikulum 2013 ialah konsep wacana lintas minat, yaitu penerima didik kelas X yang menentukan minat di jurusan IPA atau IPS harus mempelajari mata pelajaran yang melintasi minatnya. Akibatnya, penerima didik yang tidak suka IPA harus berguru ilmu-ilmu sosial dan sebaliknya. Padahal, banyak anak menentukan minat jurusan tertentu alasannya yakni tidak suka pada mata pelajaran lain. Akibatnya, mereka yang melakukan lintas minat berada dalam keterpaksaan dalam belajar.

Kebijakan Kurikulum 2013 mempunyai banyak dampak yang lebih banyak merusak daripada menumbuhkan kegairahan berguru dalam diri siswa. Kondisi ini terperinci akan menghambat daya saing bangsa ini ke depan. Menjadikan proses pembelajaran sebuah pengalaman pembelajaran otentik dan menyenangkan merupakan tantangan berat dalam memperbaiki Kurikulum 2013.

Mendesain kurikulum Indonesia yang transformatif, dinamis, dan sederhana, tapi berdaya guna tentu menjadi cita-cita seluruh pemangku kepentingan pendidikan. Tugas Mendikbud gres ialah mendesain kurikulum alternatif yang lincah, ringan, dinamis, memperlihatkan kegairahan belajar, mendorong pembelajaran otentik, memudahkan guru mengajar, mengurangi beban manajemen yang tidak perlu, serta menjawab tantangan dan kebutuhan keterampilan masa depan. Sementara itu, mempunyai mekanisme dan mekanisme yang fleksibel untuk menilai dan mengevaluasi tercapainya seluruh tujuan pembelajaran yang sangkus dan mangkil.

Orkestrasi sistem
Mungkin tantangan transformasi kurikulum yang dihadapi Nadiem ialah orkestrasi sistem di dalam lingkungan Kemendikbud dan lembaga-lembaga yang menjadi kawan pengembangan kurikulum, yaitu Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). BSNP seharusnya menjadi forum independen yang menyelia desain kebijakan kurikulum Kemendikbud dan buku-buku teks yang dihasilkan Pusat Kurikulum, serta berkolaborasi biar Kemendikbud melakukan Standar Nasional Pendidikan.

Selama ini, orkestrasi sistem itu belum jalan. Mendikbud belum bisa mengorkestrasi setiap direktorat di bawahnya untuk bekerja sama. Sementara itu, BSNP juga bekerja sendiri tanpa sanggup mengawal turunan kebijakan kurikulum yang telah didesain dalam Standar Nasional Pendidikan.

Orkestrasi sistem juga terkait dengan regulasi dan tata peraturan. Ada banyak gagasan perubahan untuk mentransformasi kurikulum, pada karenanya gagal alasannya yakni terhenti pada status quo peraturan. Baik itu yang terkunci di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) 2003, Peraturan Pemerintah Nomor 19 wacana Standar Nasional Pendidikan dan banyak sekali macam revisi turunannya, serta Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) yang terkait dengan Kurikulum 2013.

Banyak kritik dari masyarakat terhadap kebijakan pendidikan kita. Terutama banyaknya mata pelajaran yang perlu dipelajari penerima didik di SD (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Kritik menyerupai ini akan tetap menjadi sekadar kritik tanpa bisa diubah alasannya yakni dilema wacana jumlah mata pelajaran itu ada di dalam UU Sisdiknas, yang jikalau mau mengubahnya harus memperbaiki UU Sisdiknas itu sendiri.

Tantangan utama Mendikbud Nadiem ialah mengorkestrasi banyak sekali direktorat dan forum biar mereka mempunyai harmoni berupa orkestrasi internal, yaitu orkestrasi yang masih di bawah kendali Mendikbud dan orkestrasi eksternal, yaitu proses obrolan diskursif untuk mendiskusikan dan membahas dilema regulasi. Mulai perubahan atau revisi UU Sisdiknas, perbaikan Peraturan Pemerintah yang tidak relevan, dan menyinkronkan kebijakan di kementerian dalam banyak sekali macam Permendikbud yang tumpang-tindih dan tidak efektif menjawab tantangan pendidikan di masa disrupsi.

Untuk itu, mendikbud perlu mempunyai kemampuan lobi dengan Presiden, anggota dewan, dan lembaga-lembaga lain yang relevan dalam mentransformasi kurikulum Indonesia secara visioner.

Keberanian eksekusi
Pintu telah dibuka oleh Presiden Joko Widodo biar Mendikbud mentransformasi kurikulum yang bisa membentuk insan Indonesia berdikari siap kerja dan bisa hidup di tengah tantangan masa global-digital. Kepercayaan ini perlu ditanggapi dengan semangat keberanian mengeksekusinya, betapa pun tantangan di dalam Kemendikbud dan di luar akan sangat banyak.

Sebagai Mendikbud yang dipercaya alasannya yakni mempunyai keahlian mengantisipasi disrupsi, keberanian pertama ialah mengubah nomenklatur kurikulum. Nama kurikulum kita ketika ini secara gamblang sudah memperlihatkan ketertinggalan. Bagaimana mungkin kita yang hidup di 2019 masih menggunakan kurikulum dengan nama Kurikulum 2013? Untuk mengubah nomenklatur itu, Nadiem akan berhadapan dengan orang-orang yang ingin mempertahankan legasi Kurikulum 2013.

Keberanian kedua ialah berani untuk tidak terkenal dan tidak mengikuti kritik publik atas pemeo ganti menteri ganti kurikulum. Pemeo itu sudah terbukti keliru. Mendikbud Anies Baswedan dan Muhadjir Effendy tidak mengganti kurikulum. Pergantian kurikulum diperlukan terjadi di masa Nadiem.

Pergantian kurikulum yang diperlukan terjadi bukan sekadar pergantian nama, melainkan juga pergantian isi, metode, dan cara mengelola pendidikan secara keseluruhan. Ganti menteri harus ganti kurikulum alasannya yakni memang sekarang saatnya berubah. Kurikulum yang berkonotasi masa kemudian harus segera ditinggalkan.

Keberanian ketiga ialah keberanian mendesain gagasan kurikulum masa depan yang sangat berbeda dengan yang selama ini dilakukan. Transformasi kurikulum yang efektif mesti dipandu para pemikir yang paham masa depan dan berani mengambil langkah perubahan secara sedikit demi sedikit di masa kini. Perubahan radikal perlu dilakukan dalam desain kurikulum kita. Bila hanya sekadar revisi tambal sulam, saya tidak begitu yakin apakah di masa depan kita bisa mempersiapkan belum dewasa kita menghadapi dinamika kehidupan global yang tidak pasti, gampang berubah, ambigu, dan kompleks.

Mentransformasi kurikulum pada hakikatnya bukan sekadar mendekatkan proses dan hasil berguru pada kesiapan insan untuk bekerja atau sekadar melahirkan insan pembelajar yang mempunyai ijazah dan kompetensi, melainkan sebuah proses yang terstruktur dan sistematis untuk melahirkan insan Indonesia yang mempunyai akar budaya dan identitas keindonesiaan secara mendalam, tapi mempunyai keterbukaan pada pergaulan global untuk membangun kesejahteraan bangsa dan bisa berpartisipasi dalam kehidupan di masyarakat global.( https://m.mediaindonesia.com)

Doni Koesoema A Pemerhati Pendidikan dan Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong

Belum ada Komentar untuk "✔ Transformasi Kurikulum"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel