✔ Cerpen Jembatan Yang Hilang
Jembatan yang Hilang
Oleh I Wayan Ardika, S. Pd.
Di sebuah pedesaan, tinggallah Pito bersama kedua orang tuanya. Pito masih duduk di kelas 4 SD. Ia ialah anak yang rajin. Setiap hari ahad atau libur sekolah, ia selalu membantu kedua orang tuanya bekerja di kebun.
Kedua orang bau tanah Pito bekerja sebagai petani. Mereka menanam pohon kakao, pisang, kopi, dan ubi-ubian. Hasil panennya mereka jual, kemudian uangnya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Pada hari minggu, pagi-pagi sekali Pito sudah bangkit dari tidurnya. Ia bergegas untuk ikut ke kebun bersama ayah dan ibunya. Ia tak sabar untuk melihat pohon pisang yang ditanamnya beberapa ahad yang lalu. "Ibu, ayo kita berangkat!" ajak Pito. "Ea to, ayo kita berangkat!" jawab ibunya Pito. Akhirnya mereka berangkat ke kebun.
Kabunnya terletak di bersahabat hutan. Jaraknya cukup jauh dari rumah Pito. Mereka berangkat ke kebun dengan mengendarai sepeda motor.
Setelah menempuh perjalan yang cukup jauh, balasannya mereka hingga di kebun. Pitopun eksklusif melihat pohon pisangnya yang sudah mulai tumbuh. Pito sangat bahagia sekali.
Dari kejauhan, Pito mendengar bunyi mesin pemotong kayu dan pohon yang tumbang. Pitopun bertanya pada ayahnya, "Pak siapa yang menebang pohon di hutan?" "Itu orang yang sedang membuka lahan gres Pito, untuk ditanami pohon pisang, kakao dan lainnya," jawab ayah Pito. "Pak guru bilang, kita dihentikan menebang pohon sembarangan pak, apa itu sudah ada izinnya pak?" tanya Pito lagi. "Sepertinya belum Pito, tapi sudah banyak masyarakat yang membuka lahan disana," jawab ayah Pito.
Pito melihat hutan di sekitarnya memang sudah tak sebagus dulu. Hutannya sudah mulai gundul, lantaran terus ditebang sembarangan. Sebagian besar hutan sudah dijadikan lahan pertanian oleh masyarakat sekitar. Pito merenung, dan berkata dalam hati, "Apa yang akan terjadi, bila hutan telah rusak?"
Pertanyaan itu terus terbenam di benaknya, hingga terbawa dalam mimpi. Ia bermimpi, bahwa akan terjadi tragedi besar, bila hutan yang ada di bersahabat kebunnya itu terus dirusak.
Keesokan harinya, ia bergegas berangkat sekolah. Ia tak sabar ingin menceritakan apa yang dilihatnya kemarin dengan pak guru.
Diperjalanan Pito bertemu dengan Pani. "Hai Pani, tunggu aku!" teriak Pito. "Hai Pito, gimana kabarmu?" tanya Pani. "Kabarku baik Pan, yuk kita jalan sama-sama ke sekolah!" ajak Pito. Mereka berjalan tolong-menolong ke sekolah.
Untuk hingga di sekolah, mereka harus menyebrangi sebuah jembatan yang ada di atas sungai. Jembatan itu cukup tinggi dan panjang. Di bawahnya mengalir air sungai yang cukup deras, namun airnya sudah keruh dan terlihat banyak sampah plastik yang ikut meramaikan aliran sungai. "Pani, untung ada jembatan ini ya, kalau tidak kita sulit pergi ke sekolah," kata Pito. "Ea to, coba kalau tidak ada jembatan ini, niscaya kita sudah basah, lantaran harus berjalan di air," sambung Pani.
Setibanya di sekolah, mereka sudah dinantikan oleh bapak dan ibu guru. Mereka memberi salam, kemudian menaruh tasnya di kelas. Setelah itu, mereka melaksanakan pencucian di sekitar kelasnya. Kegiatan ini memang rutin dilakukan, sebelum jam pelajaran dimulai.
"Tet ..., tet ..., tet ..." Bel masuk kelas sudah berbunyi. Semua siswa segera masuk ke kelas. Pito dan Pani masuk ke kelas 4. Beberapa menit kemudian, tiba pak Budi. Pak akal ialah Guru yang mengajar di kelas IV.
"Selamat pagi anak-anak! sapa Pak Budi. "Selamat pagi pak guru!" jawab seluruh siswa. sesudah mengecek kehadiran siswa, pak Budi memberikan tujuan pembelajaran. "Hari ini kita akan berguru perihal Tri Hita Karana, keluar bukunya!” kata pak Budi. Semua siswa mengeluarkan buku pelajarannya.
Pak Budi bertanya, "Anak-anak, ada yang tahu arti Tri Hita Karana?" Semua siswa terdiam. Tiba-tiba Pito mengangkat tangannya. "Ya, coba Pito!” seru pak guru.
"Tiga pak," jawab Pito. "Tiga apa?" tanya pak guru lagi. Pito terdiam sambil berpikir.
Karena tidak ada yang menjawab lagi, maka pak guru mulai menjelaskan, bahwa Tri Hita Karana ialah tiga hal pokok yang menyebabkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia. "Anak-anak, ada yang tahu bagian-bagian Tri Hita Karana?" tanya pak guru. Semua siswa terdiam.
"Kok semua diam, berarti belum dewasa tidak ada yang membaca buku di rumah ya? pelajaran perihal Tri Hita Karana ada di buku pegangan yang belum dewasa bawa," kata pak guru.
Tiba-tiba Pani mengangkat tangannya. "Ya, Pani!" suruh Pak guru. "Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan pak," jawab Pani. "Ya Bagus, tepuk tangan untuk Pani!" seru pak guru. Semua siswa menawarkan tepuk tangan kepada Pani.
Pak guru menjelaskan lagi, bahwa bila ingin hidup sejahtera dan makmur, maka harus menerapkan anutan Tri Hita Karana. Hubungan kita dengan Tuhan sanggup dilakukan dengan rajin sembahyang, mematuhi anutan agama, dan menjauhi larangan-larangannya. Hubungan insan dengan insan sanggup dilakukan dengan menjaga hubungan yang baik dengan orang lain. Misalnya dengan menumbuhkan sikap toleransi, tenggang rasa, saling menghargai, dan tolong-menolong dengan sesama manusia. Hubungan insan dengan lingkungan atau alam sanggup dilakukan dengan menjaga lingkungan sekitar, contohnya dengan membuang sampah pada tempatnya, tidak merusak hutan, memilah sampah, dan lain sebagainya.
Setelah pak guru selesai menjelaskan, Pito mengangkat tangan, dan menanyakan hal yang telah menjadi beban pikirannya semenjak kemarin. "Pak, apa yang akan terjadi bila pohon-pohon di hutan terus ditebang?"
"Pertanyaan yang bagus, ayo belum dewasa siapa yang bisa menjawab?" tanya balik pak guru.
Pani mengangkat tangan dan menjawab, "Akan terjadi banjir dan tanah longsor pak."
"Bagus Pani," puji pak guru.
Arya mengangkat dan menjawab, "Hewan-hewan akan mati pak."
"Ya, anggun arya," puji pak guru lagi.
Pak guru menjelaskan lagi, bahwa benar yang dikatakan oleh Pani dan Arya. Jika kita tidak menjaga lingkungan alam, menyerupai hutan maka akan terjadi banyak bencana, menyerupai banjir dan tanah longsor. Bencana ini tentu akan sangat merugikan manusia. Kemudian, bila pohon di hutan terus ditebang, maka akan menjadi gundul, sehingga ekosistem di hutan menjadi terganggu dan menyebabkan hewan-hewan yang tinggal disana menjadi mati. Untuk itu, kita harus menjaga hutan, dihentikan merusaknya.
"Kemarin saya melihat, hutan di bersahabat kebun ayah saya sudah gundul pak, bagaimana caranya semoga tidak terjadi bencana?" tanya Pito lagi.
"Pertanyaan yang bagus, Pito. Ada yang bisa menjawab" tanya balik pak guru.
Arya memgangkat tangan dan menjawab, "Dengan cara menanam pohon lagi pak." "Ya bagus, Arya. Kita sanggup melaksanakan reboisasi atau penanaman pohon kembali pada hutan yang telah gundul. Disamping itu, untuk menjaga kelestarian hutan, kita sanggup melaksanakan babat tanam artinya sesudah menebang eksklusif menanam lagi, babat pilih artinya menebang pohon dengan menentukan pohon yang memang sudah bisa ditebang atau tidak menebang sembarang,” tambah pak guru.
"Baik anak-anak, ada yang bertanya lagi?" tanya pak guru. "Tidak pak," jawab siswa serentak.
"Baik kalau tidak ada yang bertanya lagi, bapak akan beriksan soal penilaian untuk hari ini. Silahkan kerjakan sendiri!" kata pak guru. "Iya pak," jawab semua siswa semangat.
Setelah mengerjakan soal, seluruh siswa bersiap untuk pulang sekolah. Namun dari kejauhan terdengar bunyi gelegar gemuruh yang sangat keras.
"Pina, bunyi gemuruhnya keras sekali, nampaknya akan turun hujan lebat," seru Pito. "Iya Pit, mudah2 nanti kita tidak kehujanan," jawab Pina.
"Teet, teet, teet!" Bel pulang pun berbunyi. Saat bersamaan hujan mulai turun. Lama-kelamaan tambah deras.
Pito dan temen-temennya tidak bisa pulang. Mereka menunggu di dalam kelas, berharap hujan segera reda. Namun hujan tak kunjung reda, malah tambah deras. Sesekali ditemani bunyi petir yang menggelegar saling bersahutan. Membuat Pito dan teman-temannya takut. Pak Budipun tiba menenangkan mereka. Pak Budi mengajak mereka bertanya jawab, "Anak-anak siapa yang tahu, mengapa bisa terjadi hujan?" Tanya Pak Budi.
Setelah usang berpikir, Pani mengacungkan tangan kemudian menjawab, "Hujan terjadi lantaran adanya penguapan air bahari pak."
"Bagus Pina!" Puji pak guru. "Ada yang bisa menjelaskan lebih rinci?" tanya pak guru lagi. Semua siswa berpikir, tetapi tidak ada yang menjawab lagi.
Akhirnya pak guru menjelaskan, bahwa hujan terjadi memang lantaran penguapan air laut. Namanya siklus air. Dimulai dari penguapan air, baik yang ada di laut, danau, maupun sungai akhir panasnya matahari, kemudian uap membentuk awan, dan lama-kelamaan awan menjadi berat, dan balasannya jatuh ke bumi sebagai hujan.
Di luar kelas Pina melihat kilatan cahaya petir, yang sesaat kemudian terdengar bunyi gemuruh Guntur. “Krug ….” Semua siswa menutup telinganya ketakutan.
Pina bertanya kepada pak Budi, “Pak mengapa bisa terjadi petir dan Guntur?”
“Bagus sekali pertanyaan Pina, ada yang bisa jawab?” tanya balik pak guru.
“Tidak tahu pak,” celetuk Arya.
“Baik kalau tidak tahu, bapak akan jelaskan, dengarkan baik-baik!” kata pak Budi. “Petir terjadi akhir awan bergerak terus-menerus secara teratur. Pergerakan ini menciptakan awan berinteraksi dengan awan lainnya, sehingga muatan yang negatif akan berkumpul pada satu sisi saja dan muatan positif pada sisi lainnya. Jika perbedaan energi potensial antara awan dan bumi cukup besar, maka akan terjadi pembuangan muatan negatif dari awan ke bumi semoga terjadi keseimbangan. Saat muatan negatif bisa menembus ambang batas isolasi udara, maka akan terdengar bunyi Guntur. Nah, bagaimana dengan petir? Petir lebih dahulu daripada Guntur. Hal ini lantaran kecepatan cahaya lebih cepat daripada kecepatan suara,” terperinci pak guru.
“Bruk…!” Tiba-tiba terdengar bunyi benda jatuh dari belakang sekolah. Merakapun keluar untuk melihatnya. “Pak guru, ada banjir!” teriak Pito. “Iya, belum dewasa segera mencari daerah yang aman” kata pak guru. Mereka segera pergi ke rumah pak guru, yang letaknya tidak jauh dari sekolah.
Banjir terjadi akhir sungai yang ada di bersahabat sekolah meluap. Aliran sungai tersumbat oleh banyaknya sampah dan batang pohon. Banyaknya sampah disebabkan oleh sikap masyarakat sekitar yang sering membuang sampah ke sungai. Sedangkan batang pohon berasal dari tanah longsor dan batang pohon yang ditebang sembarangan.
“Pito…! Pito…! Terdengar bunyi Arya dari kejauhan. “Kenapa Ar?” Tanya Pito. “Gawat…! Gawat…! Jawab Arya sambil terengah-engah. “Gawat kenapa Ar?” Tanya Pani ikut penasaran. “Jembatannya telah hilang!” seru Arya. “Jembatan jalan kita pulang ke rumah Ar?” Tanya Pito lagi. “Iya Pit, kini kita tidak bisa pulang ke rumah, jawab Arya cemas. “Wah bagaimana ini?” Pani mulai resah.
“Tenang anak-anak, malam ini tidur di rumah bapak saja dulu, nanti bapak coba telepon orang bau tanah kalian ya!” kata pak guru menenangkan. “Terima kasih pak guru,” jawab serempak Pito, Pani, dan Arya.
Jembatan penghubung rumah Pito, Pani, dan Arya dengan sekolah telah hilang. Putus diterjang derasnya aliran sungai dan batang pepohonan. Selain itu, banyak rumah warga yang menjadi korban. Termasuk tembok sekolah mereka. Warga yang terkena imbas banjir telah dievakuasi ke daerah yang aman. Beberapa warga tak sempat lagi menyelamatkan harta bendanya. Semua telah hanyut terbawa arus sungai.
Rasa takut, sedih, cemas bercampur di wajah Pito. Ia berharap semua akan baik-baik saja. Dalam benaknya berpikir, bagaimana caranya ia akan sekolah bila tidak ada jembatan? Tentu ia harus berjalan menyebrangi sungai dan menciptakan pakaiannya basah. “Sudahlah Pito, jangan terdiam terus, semua akan baik-baik saja, kau kondusif bersama bapak,” kata pak Budi yang memecah lamunan Pito. “Iya pak, hanya saya cemas akan keadaan kedua orang bau tanah saya,” kata Pito. “Tadi bapak sudah telepon ayahmu, mereka baik-baik saja. Banjirnya tak hingga ke rumahmu. Bapak juga sudah bertahu mereka, bahwa kau baik-baik saja disini. Besok ayahmu akan menjemputmu dan yang lainnya,” tambah pak Budi. Jawaban pak Budi, menciptakan hati Pito sedikit tenang.
Tak terasa waktu sudah malam, namun hujan belum juga reda. Malam menjadi semakin gelap, ketika listrik ikut mati. Menambah ketakutan Pito. “Anak-anak, tidak usah takut, kalian kondusif disini,” kata pak guru menghibur. “Iya pak, semoga besok hujannya sudah reda,” jawab Pani. “Iya, mari kita berdoa bersama, semoga besok semua baik-baik saja, dan kita dijauhkan dari bencana,” ajak pak guru. Merekapun berdoa bersama, memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Malam sudah sangat larut, mata Pani masih terjaga. Ia tak bisa tidur. Perasaannya kacau, takut akan banjir yang datang.
Tak terasa, ayam sudah berkokok. Pertanda hari sudah pagi. Pito, Pani, dan Arya bergegas bangkit dan melihat di sekitar. Namun hujan rintik-rintik masih menghiasi pemandangan mereka.
Di kejauhan terlihat sampah berserakan dan batang pohon besar yang menyumbat sungai. “Wah, ternyata ini dampaknya, bila kita tidak menjaga lingkungan alam,” kata Pito. “Ea Pit, ini menjadi teguran untuk kita, semoga terus menjaga kelestarian lingkungan,” sambung Pani. “Betul Pan, o ea, bagaimana keadaaan sekolah kita ya? Ayo kita lihat!” Ajak Arya. “Ayo!” jawab Pito dan Pani.
Mereka bergegas melihat keadaan sekolah. Setibanya disana, mereka melihat tembok sekolah yang sudah roboh dan ruang kelas yang penuh dengan lumpur. Banjir kemarin telah menciptakan sekolah mereka rusak dan kotor.
Di ruang guru, sudah ada Pak Budi yang sedang merapikan berkas-berkasnya. “Pak guru, bagaimana ini, sekolah kita rusak dan kotor?” tanya Pito. “Iya anak-anak, terpaksa sekolah kita liburkan dulu, hingga situasi kondusif kembali,” jawab Pak Budi. “Iya pak, jawab Pito sedih.
“O ea, orang bau tanah kalian belum tiba menjemput?” tanya Pak Budi. “Belum pak,” jawab Pani. “Anak-anak jangan pulang sendiri ya, lantaran jembatannya sudah putus, tadi bapak sudah telepon orang bau tanah belum dewasa untuk menjemput kesini,” kata Pak Budi. “Iya pak,” jawab mereka serempak.
Tak usang kemudian, Bapak Pito datang. “Pito, kau tidak apa-apa?” tanya Bapak Pito. “Syukurlah tidak pak, kami kondusif ada di Rumah Pak Budi,” jawab Pito.
Ayah Pito mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pak Budi. “Terima kasih banyak pak, bapak sudah menjaga Pito dan yang lainnya,” kata Bapak Pito. “Sama-sama pak, sudah menjadi kewajiban saya sebagai guru dan orang bau tanah mereka di sekolah,” jawab Pak Budi.
Pito, Pani, dan Arya pulang bersama ayah Pito. Dalam perjalanan, mereka melihat banyak rumah yang rusak. Banyak sepeda motor dan kendaraan beroda empat yang tertimpa sampah dan lumpur. Sungguh pemandangan yang tidak sedap dipandang mata.
Mereka juga melihat beberapa anggota dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang membantu para korban banjir. “Pak, apakah rumah kita terkena banjir?” tanya Pito penasaran. “Kita patut bersyukur kepada Tuhan nak, rumah kita aman, termasuk rumah Pani dan Arya,” jawab ayah Pito. “Syukurlah pak,” jawab Pani. “Kita juga patut bersyukur, lantaran banjir kali ini tidak menyebabkan korban jiwa, hanya korban materi saja,” sambung Ayah Pito.
Tak terasa mereka telah hingga ditepi jembatan yang telah putus. Mereka menatap aliran sungai yang sudah mulai tenang. “Pak, apa tidak apa-apa kalau kita menyebrangi sungai ini?” tanya Pito takut. “Tenang saja Pito, airnya sudah tenang, kita akan kondusif menyebrang, ayo bapak gendong!” kata ayah Pito sambil menggendongnya. Merekapun menyebrang dengan digendong oleh ayah Pito satu per satu.
Akhirnya Pito dan teman-temannya hingga di rumah masing-masing. Mereka segera membersihkan diri dan beristirahat, sambil menceritakan pengalaman mereka pada keluarganya.
Tiga hari kemudian, hari sudah nampak cerah. Pito dan teman-temanya mulai bersekolah lagi. Perjalanan mereka ke sekolah nampak berbeda. Tak ada lagi jembatan yang biasa mereka lalui setiap pagi dan pulang sekolah. Mereka harus terbiasa dengan jembatan darurat yang terbuat dari bambu. Orang bau tanah dan masyarakat sekitar telah bergotong royong untuk membuatnya.
Setibanya di sekolah, mereka masih melihat kondisi sekolah yang berantakan. Melalui aba-aba pak guru, seluruh siswa melaksanakan kerja bakti untuk membersihkan kelas dan lingkungan sekolah. Mereka rindu akan sekolah mereka yang bersih, asri, dan nyaman untuk belajar.
Beberapa hari kemudian, sekolah sudah menjadi higienis kembali, hanya temboknya yang masih rusak. Pak guru menyampaikan akan memperbaikinya bila sudah ada dana dari pemerintah.
“Selamat pagi!” tiba-tiba ada bunyi seorang pria yang menyapa. “Selamat Pagi pak” Pito membalas salamnya. “Bapak kepala sekolah ada?” tanya bapak itu. “Ada pak, mari saya antar,” jawab Pito, kemudian mengantarnya ke ruangan bapak kepala sekolah. Ternyata bapak itu ialah bapak kepala desa. Ia ingin memberikan agenda kerja bakti membersihkan sampah plastik di sungai dan reboisasi hutan. Ia mengaharapkan pihak sekolah sanggup berpastisipasi dalam acara tersebut.
Ketika akan pulang sekolah, bapak kepala sekolah menawarkan pengumuman, bahwa besok seluruh warga sekolah akan mengikuti acara kerja bakti membersihkan sampah plastik di sungai dan reboisasi di hutan bersahabat sekolah. Untuk itu, siswa dari kelas 4, 5, dan 6 diperlukan membawa karung bekas untuk daerah sampah yang dipungut. “Besok belum dewasa bersama bapak/ibu guru wali kelas bertugas memungut sampah plastik yang ada dipinggir sungai, sementara beberapa guru yang lain bersama bapak bertugas menanam pohon,” kata pak kepala sekolah.
Setelah menawarkan pengumuman, seluruh siswa dipulangkan. Pito, Pani, dan Arya pulang dengan semangat. Meraka sudah tidak sabar menceritakan hal ini kepada orang bau tanah mereka.
Setibanya di rumah, Pito eksklusif bercerita pada ayahnya, “Ayah besok saya dan teman-teman di sekolah, akan mengikuti acara kerja bakti membersihkan sungai dari sampah plastik.” “Wah anggun itu, menjaga kebersihan lingkungan, terutama sungai sanggup mencegah banjir,” kata ayah Pito. “Bapak besok juga ikut menanam pohon di hutan,” sambung ayah Pito. “Wah, semoga hutannya jadi hijau lagi ya pak,” kata Pito.
Keesokan harinya, Pito dan temen-temennya melaksanakan kerja bakti dengan semangat. Berbekal karung bekas yang telah dibawa dari rumah, mereka memungut sampah plastis yang ada di pinggir sungai. “Semoga nanti tidak terjadi banjir lagi ya,” kata Pito sambil memunguti sampah plastik yang menghalangi langkahnya. “Amin, namun kita harus selalu menjaga lingkungan, salah satunya dengan tidak membuang sampah sembarangan, terutama di selokan dan sungai,” kata Pani. “Selain itu, kelestarian hutan juga harus tetap dijaga,” sambung Arya. “Ea betul, kerja bakti menyerupai ini harus sering kita lakukan, semoga sungai menjadi bersih,” tambah Pito.
Sejak ketika itu, warga sekolah dan warga desa rutin melaksanakan kerja bakti membersihkan lingkungan setiap satu bulan sekali. Disamping itu, pemerintah desa juga telah menciptakan peraturan perihal lingkungan, yaitu masyarakat desa diharuskan memilah sampah organik dan sampah non organik, sehingga gampang untuk dimanfaatkan kembali. Sampah organik sanggup diolah menjadi pupuk kompos yang berkhasiat untuk tanaman, sedangkan sampah non organik menyerupai botol bekas sanggup didaur ulang atau dijadikan materi kerajinan tangan. Selain itu, masyarakat juga dihentikan membuang sampah ke selokan atau ke sungai. Apabila ada yang terbukti melanggar, maka akan diberikan sanksi.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat menjadi terbiasa untuk menjaga lingkungan. Sungai menjadi higienis dan sehat. Banjirpun tidak tiba lagi. Pito dan teman-temannya sanggup berguru dengan tenang.
Beberapa bulan kemudian, jembatan yang dulunya hilang dibawa arus sungai telah selesai diperbaiki. Akhirnya Pito dan teman-temannya sanggup ke sekolah dengan lancar, tanpa harus melalui jembatan darurat lagi. Setiap Pito melewati jembatan itu, ia selalu mengingat banjir yang telah menciptakan jembatan, sekolah, dan beberapa rumah warga di sekitarnya rusak. Ia pun selalu mengingat pelajaran yang diberikan oleh Pak Budi, yaitu Tri Hita Karana. Ia selalu berusaha untuk menerapkannya. Setiap hari ia selalu rajin sembahyang, memohon keselamatan untuk semua orang. Memohon semoga tidak terjadi tragedi lagi (Parahyangan). Ia juga selalu berbuat baik terhadap teman-teman, orang tua, dan yang lainnya (Pawongan). Ia juga selalu menjaga lingkungan, mulai dari lingkungan rumah, dengan menjaga kebersihan rumah, memilah sampah, dan ikut menanam pohon pada hutan yang telah gundul. Ia juga rajin mengikuti kerja bakti untuk membersihkan sampah plastik di sungai. Di sekolah, ia juga rajin membersihkan lingkungan sekolah (Palemahan).
Dengan menerapkan anutan Tri Hita Karana, Pito berharap terjadi kedamaian dan kemakmuran. Bencana banjir tidak tiba lagi dan jembatan penghubung rumahnya dengan sekolah tidak kembali hilang.
Belum ada Komentar untuk "✔ Cerpen Jembatan Yang Hilang"
Posting Komentar