✔ Cerita Sang Watugunung

(http://baltyra.com)

Kisah Sang Watugunung

Pada sebuah kerajaan yang berjulukan Kundadwipa, tinggallah seorang raja yang berjulukan Dang Hyang Kulagiri. Ia memiliki dua orang istri, yaitu Dewi Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia. Dari Dewi Sintakasih ia memperoleh seorang putra berjulukan Watugunung. 

Suatu hari, Sang raja berkata kepada kedua istrinya, bahwa ia akan pergi ke Gunung Sumeru untuk bertapa. Sang raja berpesan biar kedua istrinya menjaga diri dan merestui kepergiannya. 

Setelah cukup usang sang raja pergi, Dewi Sintakasih yang telah hamil renta bersama Dewi Sanjiwartia tetapkan untuk mencari suaminya ke Gunung Semeru. Setibanya di lereng Gunung Semeru, tiba-tiba perut Dewi Sintakasih sakit. Mereka beristirahat di atas kerikil datar dan lebar. Tak usang kemudian, Dewi Sintakasih melahirkan bayi pria dan kerikil tersebut pecah lantaran tertimpa tubuh si bayi. Melihat insiden itu Dewi Sintakasih bersama Dewi Sanjiwartia sangat sedih. 

Ketika itu, turun Ida Hyang Padmayoni, bertanya kepada mereka, “Mengapa kalian bersedih?” Sang Dewi menghormat sambil menjawab; "Ya, yang terhormat batara, hambamu ini ditinggal oleh suami bertapa di lereng Gunung Sumeru, sejak  hamba gres mulai hamil hingga sekarang. Sampai kelahiran putra hamba ini, belum juga dia kembali, itulah sebabnya hambamu ini bersedih hati," kata sang dewi.

Itulah ungkapan kesedihan kedua dewi tersebut, kepada Ida Hyang Padmayoni yang disebut sebagai Dewa Brahma. Mendengar kisah kedua putri tersebut, Dewa Brahman sangat senang dan mendoakan supaya sang bayi panjang umur, populer di dunia, serta diberikan anugerah bahwa, sang bayi tidak akan terbunuh oleh para dewa, danawa, detya, dan manusia, tak terbunuh pada malam hari maupun pada siang hari, tidak mati di bawah maupun di atas, tidak terbunuh oleh senjata, kecuali Dewa Wisnu. 

Di waktu yang sama, Dewa Brahman menunjukkan sang bayi nama, I Watugunung. "Dan lantaran bayimu lahir di atas batu, saya anugrahi nama I Watugunung."

Usai itu Dewa Brahma kembali ke Kahyangan (Brahma Loka). Setelah itu, kedua dewi kembali ke kraton dengan memangku putranya. I Watugunung mengalami pertumbuhan yang amat cepat, sampai-sampai ibunya merasa kewalahan untuk memberi makan, lantaran bayinya makan amat kuat. Melihat kejadiaan itu, kedua Dewi sangat heran.

Satu periuk nasi dihabiskan dalam sekali makan, tanpa ada sisanya. Hal tersebut berlangsung terus menerus, hingga suatu hari ketika ibunya  sedang memasak di dapur, sang Watugunung dating mendekati ibunya, seraya meminta nasi untuk dimakan.

"Anakku bersabarlah menunggu, nasinya belum masak," kata sang ibu.

Mendengar kata sang ibu, Watugunung tidak menghiraukan dan terus mendesak supaya ibunya segera menunjukkan nasi, lantaran perutnya sudah lapar. Karena tidak tahan, sang Watugunung mengambil nasi sendiri tanpa dukungan ibunya, dan nasi yang sedang dimasak itu pribadi disantapnya hingga habis, tanpa menghiraukan sudah matang atau belum.

Melihat ketidaksopanan putranya, Dewi Sintakasih menjadi sangat murka dan pribadi memukul kepalanya hingga berlumuran darah. Sang Watugunung menangis terisak-isak menahan luka yang dideritanya. Karena saking marahnya, Watugunung meninggalkan kraton menuju Gunung Emalaya. 

Dalam perjalanan, Watugunung berbuat seenaknya. Ketika lapar, ia merampok masakan rakyat dan pribadi dimakannya. Melihat insiden itu, masyarakat di lereng Gunung Emalaya merasa sangat heran, melihat sikap anak kecil itu yang berani merampok masakan dari penduduk sekitar.

Kejadian itu terus terjadi hingga mengganggu kesejahteraan dan keamanan penduduk. Karena penduduk merasa kewalahan, hasilnya mereka melapor kepada raja Giriswara. Mendengar laporan itu, raja merasa terkejut, dan seketika naik darah. Sang raja pribadi memerintahkan rakyatnya untuk  menghabisi sang Watugunung.  

Mendapat perintah dari sang raja, seluruh lapisan kekuatan tempat menyerang sang Watugunung.  Mereka mengeroyok dan memukul Sang Watugunung dengan banyak sekali jenis senjata. Namun, seluruh serangan dan seluruh senjata tidak ada yang mempan. Watugunung makin mengada-ada.

Watugunung terus mengobrak-abrik, menyerang, menghancurkan, Sehingga pasukan penduduk Emalaya lari terbirit-birit menyelamatkan jiwanya.. Raja kemudian bertambah emosi mendengar insiden itu.

Akhirnya sang raja tetapkan untuk maju ke medan perang. Terjadilah perang tanding antara raja Giriswara dengan Watugunung, yang sama-sama jago dan sakti dalam peperangan. Setelah berlangsung 7 hari, Raja Giriswara berhasil dikalahkan Watugunung, sehingga raja Giriswara tunduk dan menghormat kepada sang Watugunung.

Watugunung melanjutkan  serangan mengarah ke kerajaan Pasutranu yang rajanya berjulukan Prabu Kuladewa. Karena serangan yang dilakukan Watugunung, rakyat Kuladewa tidak tinggal diam, maka terjadilah pertempuran yang hampir sama dahsyatnya dengan pertempuran di kerajaan Girisrawa. Rakyat Kuladewa kewalahan menghadapi serangan Watugunung, hingga hasilnya mereka lari tunggang-langgang menyelamatkan jiwanya masing-masing. 

Raja Kuladewa sanggup dilenyapkan Watugunung. Setelah itu, maka selanjutnya menyerang raja Talu, raja Mrabuana, raja Wariksaya, raja Pariwisaya, raja Julung, raja Sunsang dan yang  lainnya dengan gampang sanggup ditundukkan. Daru 27 kerajaan, semuanya dengan gampang dikalahkan.

Kesaktian Watugunung diperolehnya pada dikala kelahirannya di kaki Gunung Sumeru, dari Sang Hyang Padmayoni. Setelah 150 tahun sang Watugunung memerintah tempat jajahannya, suatu hari ia bertanya kepada para raja yang telah ditaklukannya. "Hai para raja, apakah ada raja yang jago lagi  yang belum saya tundukkan?" 

Para raja kemudian menjawab, "Daulat tuanku Maha Raja, masih ada dua orang raja lagi yang belum tuanku tundukkan, yaitu keduanya wanita yang amat rupawan bertahta di negara Kundadwipa yang sangat diagungkan oleh rakyatnya dan dihormati. Jika tuanku sanggup mengalahkannya, kedua raja itu sangat patut untuk dijadikan permaisuri tuanku raja," kata para raja.

Mendengar keterangan dari para raja itu, Watugunung memerintahkan kepada rakyatnya, supaya mempersiapkan diri lengkap dengan  persenjataan untuk menyerang kerajaan Kundadwipa. Berita ini, kemudian didengar kerajaan Kundadwipa, maka rakyat Kundadwipa berkemas-kemas untuk menyambut tamu yang tak diundang itu.

Pertempuran terhadi dengan yang sengit dan seram, hingga pemikiran darah dari para korban menganak sungai. Perwira yang gagah berani sama-sama tidak ada yang mau menyerah, dan pantang mundur. Korban dari kedua belah pihak makin banyak.

Akhirnya Kundadwipa  berhasil ditaklukkan. Kedua raja wanita dinikahi oleh Watugung. Padahal salah satunya yakni ibunya kandungnya sendiri. Setelah usang bersuami istri, sang Watugunung menyuruh  kedua permaisurinya untuk mencari kutu di kepalanya. Ketika itu, tiba-tiba terjadi gempa bumi, hujan lebat disertai  angin dan disambung oleh petir yang mengguntur di langit. Para tuhan sangat khawatir melihat insiden itu. 

Para tuhan menghadap ke Dewa Siwa dan bertanya, "Yang mulia Batara Siwa, apakah lantaran terjadi gerakan-gerakan alam yang jago menyerupai kini ini?"

Dewa Siva kemudian menjawab, "Kemungkinan besar ada insan yang berbuat  tidak sesuai dengan perikemanusiaan, tidak sesuai dengan tata susila, membenarkan yang tidak benar, berlaku menyerupai binatang," kata Dewa Siwa.

Dewa Siwa segera memanggil pendeta para dewa, yaitu Bhagawan Narada (Rsi Priarana) biar segera menyelidiki perbuatan insan di dunia, yang mengakibatkan gerak alam yang dasyat ini. Dang Hyang Narada turun ke duania melakukan perintah Dewa Siwa. 

Dang Hyang Narada melihat Sang Watugunung sedang asyik berkutu dengan kedua istrinya. Dang Hyang Narada kembali ke Siwa Loka (Swah Loka).  Melaporkan insiden itu kepada Dewa Siwa. 

"Yang mulia Dewa Siwa, kami tiba dari dunia melaporkan hasil dari penyelidikan yang kami  lakukan dengan sangat teliti. Ternyata memang ada insan berbuat  yang tidak memenuhi tata susila kemanusiaan, yaitu sang Watugunung  kedua ibunya.”

Dewa Siwa kemudian bertutur dengan kemarahan dan pribadi mengutuk Watu Gunung, "Hai kau sang Watugunung, semoga engkau mati dibunuh Sang Hyang Narayana (Dewa Wisnu) lantaran perbuatan yang sangat dursila itu, yaitu mengambil ibu kandung digunakan sebagai istri.”

Itulah kutukan Dewa Siwa disaat kemarahnya memuncak.

Pada suatu hari, kedua istri Sang Watugunung kembali mencarikan kutu. Tiba-tiba kedua istrinya tercengang, ketika melihat bekas luka pada kepala yang sedang dielus-elusnya itu. Teringatlah sang Dewi Sintakasih, dengan perbuatannya yang terdahulu, yaitu memukul kepala putranya hingga menjadikan luka di kepalanya. Sang Dewi tidak sanggup berbuat apa-apa, ia hanya membisu tercengang, bahwa yang digunakan suami yakni anaknya sendiri. 

Percakapan yang tadinya ramai, seketika menjadi hening. Watugunung kemudian bertanya kepada kedua permaisurinya, “Hai adinda, kenapa kalian diam?”

Dengan termangu sejenak, dadanya merasa sesak, Sang Dewi kemudian menjawab, “Ampun tuanku raja, kami termangu kami kami sedang ngidam.”

“Apa yang adinda idamkan?” Tanya Watugunung. 

“Suamiku yang terhormat, kami menginginkan permaisuri Dewa Wisnu sebagai pembantu” Jawab sang Dewi.

“Aku tidak mengetahui temapat Dewa Wisnu, apa dinda tahu?” Tanya sang raja.

“Oh, tempat Dewa Wisnu ada di bawah tanah,” jawab sang dewi.
“Baiklah, jikalau begitu saya akan mencarinya,” jawab sang raja.

Watugunung mulai memusatkan pikirannya dengan mantap, sehingga dengan kekuatan batinnya, bumi sanggup pecah hingga lapis ketujuh. Kemudian ia turun dan disambut oleh Dewa Wisnu. “Apa maksud kedatanganmu? Tanya Dewa Wisnu. 

“Kedatanganku kesini, lantaran isu yang kudengar di dunia, bahwa batara sangat pengasih, apapun yang diminta manusia, niscaya batara kasih,” jawab Watugunung.

“Apa yang kau katakana itu memang benar,” ujar Dewa Wisnu.
“Jika engkau memang menyayangi diriku, saya mohon permaisuri Dewa Wisnu!” pinta Sang Watugunung.
“Permintaanmu bukan sikap manusia, permintaanmu tidak benar, dihentikan meminta istriku, mintalah yang lain, saya akan penuhi,” jawab Sang Wisnu.
“Jika begitu, maka Dewa Wisnu telah berbohong, berikan istrimu maka kau akan selamat,” kata Watugunung marah.

“Seperti yang saya katakan, jikalau saya tidak mengizinkan,” jawab Dewa Wisnu. 
“Kalau begitu, marilah kita berperang, apakah engkau berani?” Kata Watugunung yang semakin marah.

Dewa Wisnupun sangat murka dan berkata, “Aku tidak memenuhi permintaanmu, lantaran permintaanmu tidak wajar”.

Akhirnya Watugung dan Dewa Wisnu bertarung. Pertarungannya terjadi dengan sangat dasyat, mengakibatkan gelombang bahari yang tinggi dan bumi bergetar. Lalu keluarlah api dari perwujudan Dewa Wisnu, kemudian disemburkan ke Watugunung, dibelit oleh bajra, ditikam dengan cakra, dan hasilnya Sang Watugung sanggup ditaklukkan. 

Dengan dada tertusuk senjata Dewa Wisnu, Watugunung berkata, “Aku tidak akan henti-hentinya bermusuhan denganmu, hingga dengan penjelmaanku yang ketujuh, saya tidak akan melupakan hal ini.”

Dewa Wisnu menjawab, “Baiklah, tapi dimana kau akan menjelma?”

Watugunung menjawab, “Aku akan bermetamorfosis di Lengka dengan nama Dasasia.”

Dewa Wisnu kemudian bersabda, “Wahai Watugunung, saya akan bermetamorfosis di Yodyapura, pada Maharaja Dasaratha dan setiap kali saya lahir, saya selalu sanggup membunuhmu!”
Kemudian sang Watugunung mati.
Sumber:  Lontar Medangkamulan lembar 1a – 9b (dalam https://aeroplasma1.blogspot.com/search?q=cerita-watu-gunung-dalam-lontar)

Belum ada Komentar untuk "✔ Cerita Sang Watugunung"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel